Mediasi Dibantu Mediator Kementerian

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Berau, tetap berupaya maksimal dalam menanggulangi perselisihan yang terjadi pada PT BUMA dengan karyawannya. Upaya mediasi pun ditunaikan dengan maksimal, tidak benar satunya dengan menghadirkan mediator berasal dari Kementerian Ketenagakerjaan.

Kepala Disnakertrans Berau Masrani mengatakan, berasal dari asumsi mediasi pada BUMA dan serikat buruh yang mewakili 9 karyawan BUMA yang di-PHK, di kantor Disnakertrans, masih dicarikan jalur yang terbaik. Harapannya, segera didapatkan solusi seperti mediator kuliah timur tengah yang mampu diterima pihak perusahaan dan serikat buruh serta pekerja yang di-PHK.

Masrani, yang mewakili Pemkab Berau, beri tambahan panduan supaya perselisihan itu mampu diselesaikan di kantor Disnakertrans Berau saja. Dia berharap tidak sampai di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). “Karena jika ini sampai ke PHI, tak sekedar jaraknya jauh dan memakan waktu. Juga memerlukan biaya yang aku kira lumayan besar. Mudah-mudahan tersedia kesepahaman pada kedua pihak ini,” terangnya.

Diakuinya, berasal dari pihak BUMA waktu bersikukuh tidak menerima tuntutan berasal dari pihak buruh. Adapun tuntutan yang diberikan, yakni 9 orang yang di-PHK mampu ulang dipekerjakan. Untuk diketahui, tersedia 14 pekerja yang di-PHK. Lima orang di antaranya menerima PHK, dan 9 orang lainnya belum menerima keputusan PHK.

“Proses masih berjalan. Kami senantiasa menganjurkan jalur terbaik. Misalnya, pihak perusahaan ulang menerima pekerja itu, maka perselisihan selesai. Begitu termasuk sebaliknya,” pungkasnya.

Sementara itu, Mediator Direktorat Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Kementerian Ketenagakerjaan, Dr Reytman Aruan SH MHum, turut dihadirkan kegunaan mendukung memediasi, untuk selesaikan perselisihan terkait PHK yang ditunaikan BUMA kepada sejumlah karyawannya.

Reytman Aruan menjelaskan, dalam prosedur penyelesaian perselisihan hubungan kerja, udah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam aturan itu diatur penyelesaian macam perselisihan hubungan kerja. Seperti, perselisihan kepentingan, perselisihan hak, perselisihan PHK, dan perselisihan antarserikat pekerja dalam satu perusahaan.

Menurut Reytman Aruan, dalam setiap perselisihan itu, yang pertama yang wajib ditunaikan yakni perundingan secara bipartit. Jadi, pada mereka yang berselisih menyadari wajib berunding. Jika tidak tersedia kata sepakat, pada pekerja dan pengusaha, maka tidak benar satunya mencatatkannya ke Dinas Tenaga Kerja setempat. Khususnya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Berau.

“Setelah dicatatkan, maka Disnaker atau mediator wajib mengecek dokumen yang diberikan. Dan melacak solusi terbaik,” katanya.

Lebih lanjut, kata Reytman, jika perselisihannya tentang persoalan PHK, cocok dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004, maka Disnaker setempat selaku mediator, dapat memanggil kedua belah pihak yang berselisih. Mediator, menurutnya, dapat tawarkan penyelesaian layaknya apa yang di idamkan kedua belah pihak.

“Apakah dapat menentukan konsiliator, atau tidak. Itu jika di tempat itu tersedia konsiliatornya. Tapi jika tidak tersedia konsiliator, maka mampu segera dimediasi oleh Disnaker,” jelasnya.

Dalam sistem mediasi itu, mediator dapat melacak solusi-solusi. Tiap persoalan yang muncul, penyelesaiannya termasuk berbeda. Jika terjadi PHK, termasuk wajib ditelusuri alasan apa saja sampai terjadi PHK. Dalam mediasi itu nantinya, mediator dapat mengeluarkan anjuran. “Tapi jika tidak tersedia kesepakatan antarpihak yang berperkara, rela tidak rela mediator dapat beri tambahan anjuran. Jika masih tersedia yang tidak sepakat, maka mereka yang tidak setuju mampu membawanya ke PHI. Di PHI itulah perkara mereka baru mampu diadili,” jelasnya.

Menurut Reytman Aruan, sehabis diputuskan oleh PHI dan ternyata masih tersedia yang tidak sepakat, maka jalur paling akhir adalah ke Mahkamah Agung (MA). Perlu diketahui, perkara yang mampu dibawa ke MA hanya untuk perselisihan PHK dan perselisihan hak.

“Tapi jika selisih tentang perselisihan kepentingan, lumayan hanya ke PHI, tidak mampu sampai ke MA,” jelasnya.

Dikatakan Aruan, mediator dalam menanggulangi suatu perkara, termasuk wajib bebas intervensi. Artinya, mediator sebagai pihak ketiga yang berperan sebagai penengah, tentu tidak memiliki kepentingan apa pun tak sekedar menjadi penengah perkara. “Jadi tidak pada tempatnya pihak yang bertikai menghimpit mediator,” jelasnya.

Ketika ditanya, apakah panduan yang dikeluarkan oleh mediator memiliki kemampuan hukum? Pria yang akrab disapa Aruan ini mengatakan, panduan yang dihasilkan mediator sesungguhnya tidak memiliki kemampuan hukum. Pasalnya, panduan itu adalah sifatnya rekomendasi. Tetapi, Aruan mengingatkan kepada mediator, walau itu adalah rekomendasi atau anjuran, itu wajib dijadikan keputusan yang mampu dipertanggungjawabkan. Artinya, kala membuatkan anjuran, wajib terlampau berbasis berasal dari aturan, dan teori-teori yang mampu dipertanggungjawabkan.

“Sehingga, tidak asal dikeluarkan anjurannya. Meskipun tidak berkekuatan hukum, namun panduan yang dikeluarkan terlampau memiliki kualitas dan independen. Dan mampu dipertanggungjawabkan baik secara moral, administratif, maupun secara legal,” tuturnya.

Sementara itu, dikatakan Aruan, mediator yang mengeluarkan anjuran, dikehendaki tidak melaksanakan revisi. Jangan sampai kala dikeluarkan anjuran, mediator lantas melaksanakan revisi. Pasalnya hal ini dapat melemahkan panduan yang diakui udah menjadi keputusan pada suatu perkara yang ditangani. Revisi, menurutnya, mampu ditunaikan sekiranya dalam penulisannya terdapat kekeliruan penulisan kata, dan kekurangan kalimat yang merubah suatu makna.